SISTEM
KEUANGAN ISLAM : SOLUSI KEUANGAN NASIONAL?
Wahyu
Saputra
Pendahuluan
Setelah krisis
ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan Asia pada tahun 1998, Indonesia
dianggap sebagai salah satu daerah penggerak ekonomi kawasan Asia Tenggara
karena telah sukses melaksanakan pemilihan umum, tanpa diwarnai kekerasan.
Sebagaimana dimaklumi, krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia ini berawal
dari krisis nilai tukar mata uang, yaitu semakin kuatnya mata uang asing
khususnya dollar Amerika terhadap mata uang domestik.
Akhirnya harga-harga
meningkat secara berlipat karena struktur ekonomi Indonesia didominasi impor,
baik bahan baku maupun barang jadi. Di bidang jasa keuangan pun demikian, dan
tingkat suku bunga meroket sehingga pada puncaknya pernah mencapai 90%. Dunia
usaha macet, tingkat pengangguran semakin besar, inflasi meninggi, pertumbuhan
negatif dan seterusnya.
Banyak orang gusar
mengapa sebuah perekonomian harus terpuruk hanya karena nilai mata uang
berubah. Sehingga ditengah krisis pernah ada usulan untuk mengikat (peg)
rupiah kepada beberapa mata uang asing, yang lazim disebut CBS (Currency
Board System). Namun karena sebelumnya Indonesia telah menandatangani Letter
of Intent dengan IMF, yang mensyaratkan di antaranya bahwa Indonesia harus
menganut sistem devisa bebas, maka ide tentang CBS tidak diterima. Padahal
sistem itu sudah dipraktikan oleh negara lain yang pernah mengalami krisis,
seperti Hong Kong.
Orang juga ingat
kembali bahwa dalam sejarah ekonomi, baru pada tahun 1990-an inilah krisis mata
uang muncul kembali setelah menimpa Amerika pada tahun 1973. Kali ini negara-negara
yang terkena adalah negara-negara selain Amerika dan Eropa, terutama Asia.
Sebelumnya ketika Bretton Wood Agreement masih diikuti, dimana setiap mata uang
harus dirujuk kepada emas, belum pernah terjadi krisis seperti ini. dibawah
kepemimpinan presiden Nixon, Amerika membatalkan perjanjian Bretton Wood
tersebut pada tahun 1971 ketika dollar Amerika semakin lemah dan ekonomi
Amerika mengalami krisis. Sejak saat itu dollar Amerika tidak lagi didasarkan
kepada emas. Dengan demikian ekonomi dunia secara praktis telah dikuasai oleh
Amerika, mengingat mata uang rujukan dunia saat ini adalah dollar Amerika,
sedangkan mata uang tersebut sepenuhnya diatur oleh pemerintah Amerika.
Adalah menarik untuk
diperhatikan bahwa selama mata uang dunia masih disandarkan kepada emas, selama
itu pula mata uang relatif stabil dan kemungkinan krisis sangat kecil. Ancaman
krisis hanya ada dari penyakit lain, yaitu bunga. Tidak mengherankan karenanya
jika dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi krisis semacam itu. Sebab, sejak
jaman Nabi Muhammad SAW sampai dengan Dinasti Utsmaniyyah, yang jatuh pada
tahun 1923, yang disebut uang itu adalah uang emas atau perak. Sedang uang
kertas tidak dikenal sama sekali.
Materi yang akan
disampaikan dalam seminar ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar
mata uang emas dilihat dari perspektif
syariah dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Pertanyaan-pertanyaan yang
timbul adalah bagaimana hukumnya penggunaan emas sebagai mata uang? Apa dampak
penerapan mata uang emas pada perbankan? Jika mungkin diterapkan bagiamana
sistemnya? Mengingat sisi praktisnya, bisakah digunakan uang kertas yang
memiliki nilai tertentu terhadap emas? Apa saja sisi positif dan negatif
penerapan mata uang emas bagi dunia perbankan? Bagaimana penetapan mata uang
emas terhadap valuta asing dan kaitannya dengan transaksi-transaksi luar negeri?
Uang emas
(Dinar) dalam Pandangan Syariah
Kata dzahab yang
berarti emas disebut dalam Al-Quran sebanyak 8 kali. Tetapi hanya satu yang
memberikan ancaman kepada orang yang mengumpulkan dan menyimpan emas, karena
tidak memanfaatkannya di jalan yang benar. Ayat ini merupakan ayat yang umum
memerintahkan bahwa kekayaan yang disimbolkan dalam bentuk emas dan perak harus
diinfakkan sebagiannya di jalan Allah. Bisa jadi kekayaan itu juga
berbentuk uang emas dan perak.
Masalah
emas sebagai mata uang dapat kita lihat pada sejarah Nabi Muhammmad saw. Pada
masa itu mata uang yang digunakan untuk bertransaksi adalah emas dan perak.
Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi. Dan
sepanjang kehidupannya, Nabi tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap
mata uang tersebut. Artinya Nabi dan para sahabat yang menjadi khalifah
sesudahnya membenarkan praktik ini. dalam ilmu hadis hal ini disebut hadis af’al
dan taqrir, yaitu jenis hadis
yang tidak diucapakan, tetapi dilakukan. Ini membuat ulama berijtihad bahwa
sistem mata uang emas dan perak adalah sistem mata uang yang benar.
Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang benar
menurut Islam hanya emas:
1.
Ketika Islam
melarang praktik penimbunan harta, Islam
hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta (maal)
itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan.
2.
Islam telah
mengaitkan emas dengan hukum-hukum yang baku dan tidak berubah-ubah. Bahkan
Islam mewajibkan diyat tersebut dengan ukuran tertentu daam bentuk emas.
3.
Rasulullah
SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan beliau menjadikan hanya
emas dan perak sajalah sebagai standar uang.
4.
Ketika Allah
SWT, mewajibkan zakat uang, maka Allah SWT telah mewajibkan zakat tersebut
untuk emas dan perak, kemudian Allah
SWT, menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas
dan perak.
5.
Hukum-hukum
tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan
dengan emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk finansial dalam Islam hanya
dinyatakan dengan emas dan perak.
Alasan-alasan ini bisa dimaklumi jika melihat hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW tentang transaksi yang melibatkan emas, misalnya:
1. Dari Ubadah bin Shamit r.a., Nabi Muhammada SAW
bersabda: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair
dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya,
tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual
sekehendakmu asal tunai.
2. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda: (Boleh
menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair, garam
dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau
meninta tambah maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya (HR.
Muslim).
3. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda: (Boleh
menjual) emas dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak
setimbang sebanding (HR. Ahmad, Muslim Nasa’i).
4. Dari Ali Bakrah r.a., Nabi Muhammda SAW melarang
(menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh
kami membeli perak dengan emas sesuka kami, dan membeli emas dengan perak sesuka
kami pula (HR. Bukhari - Muslim).
Para ulama memberikan berbagai
tafsir terhadap hadis-hadis diatas, namun yang disepakati mereka adalah bahwa
tidak boleh hukumnya tukar-menukar barang yang sama jenisnya dengan timbangan
yang berbeda. Sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan emas dan perak
diantara barang-barang makanan dalam hadis tersebut, tidak lain adalah karena
emas dan perak adalah uang. Sebab jarng terjadi orang yang menbeli (menukar)
perhiasan dari emas dengan beras atau kurma, kecuali untuk jaminan terhadap
suatu transaksi perdagangan.
Dalam kajian fiqh , memang tidak
didapati secara khusus hukum yang mengatakan bahwa mata uang harus (wajib)
terbuat dari emas dan perak. Tampaknya bagi para ulama hal yang semacam itu
sudah merupakan asumsi yang tidak perlu dibicarakan lagi (taken for granted).
Justru yang banyak menjadi pembicaraan ulama adalah praktik disekitar uang emas
dan perak, misalny nili tukar antara emas denga perak yang sering berubah-ubah,
sehingga Nasir Muhammad bin Qalawun, sultan yang semasa dengan Ibnu Taimiyah,
pernah melarang masyarakat melakukan jual-beli emas. Demikian pula Imam Ghazali
pernah mencela praktik dalam masyarakat sejamannya yang mencampur emas dengan
benda lain sehingga emas yang dipakai untuk mata uang tidak murni lagi. Akibatnya
masyarakat cenderung melepas emas yang tidak murni ke peredaran dan menyimpan
emas yang murni untuk dipakai sebagai perhiasan. Untuk itu, atas dasar ini
al-Maqrizi menyimpulkan dalam bukunya bahwa uang (emas) yang buruk menggeser
uang yang bagus dari peredaran.
Atas dasar ini kita dapat
berkesimpulan, bahwa mata uang yang ada dalam sejarah Islam adalah emas dan
perak. Uang kertas yang ada sekarang bukanlah produk peradaban Islam., karena
itu wajar bila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas yang ada sekarang adalah
legal tender, yaitu janji pemerintah yang menganggap bahwa itu adalah
uang. Jika suatu saat hukum menyatakan ia bukan uang, maka yang tertinggal
hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak bernilai apa-apa.
Padahal uang adalah alat tukar yang
bisa menggantikan posisi barang bila suatu transaksi berhenti di tengah (uang
belum sempat ditukarkan lagi dengan barang lain). Jika orang sedang memegangnya
lalu datang pengumuman bahwa uang kertas berhenti sebagai alat tukar digantikan
oleh beras, misalnya, ia hanya memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa.
Selain itu, jika demikian itu dilakukan maka pemerintah bertanggung jawab
menyediakan beras sekian banyak untuk mengganti uang tersebut.
Uang Emas
dalam Perbankan Syariah
Permasalahan mata uang
dalam perbankan syariah sebenarnya menyangkut tiga hal yang telah bercampur,
yaitu mata uang fiat (fiat money), masalah bungan dan mata uang yang
dominan. Dua masalah terakhir sebenarnya dapat terlihat dengan jelas dan bisa
diselesaikan jika masalah pertama terselesaikan.
Perbankan syariah
mengasumsikan sebuah mata uang yang kuat dan stabil dalam melaksanakan
bisnisnya. Kuat artinya tidak terpengaruh inflasi, sedangkan stabil artinya
tidak berfluktuatif mengikuti kurs mata uang asing. Hal ini diperlukan karena:
1. Produk perbankan syariah yang mengadopsi ajaran
Islam seperti jual-beli (murabahah, salam, dan istishna) dan
sewa-menyewa (ijarah, leasing) adalah produk yang menghasilkan
keuntungan dengan rate tetap. Artinya sekali bank melakukan pembiayaan
penjualan barang kepada nasabah, maka harga barang tidak berubah selama
berlakunya akad perjanjian. Jika mata uang melemah terhadap barang maka secara
riil bank sudah merugi. Padahal bank biasanya melakukan jual-beli secara tangguh.
2. Mata uang yang kuat meniadakan, atau setidaknya
meminimalisir terjadinya inflasi. Dengan demikian salah satu hambatan dalam
penentuan harga secara umum (pricing)
dalam sebuah bank akan terselesaikan.
3. Konsep perbankan syariah meniadakan bunga sebagai
instrumen. Dengan mata uang yang kuat, time value of money sebagai
paradigma yang menghasilkan metode present value dan future value akan hilang.
Perhitungan keuntungan akan jadi lebih mudah dan tidak berkelit-kelit.
4. Pertukaran mata uang dengan kurs ysang tidak tetap,
ditambah instrumen bunga, melahirkan transaksi spekulatif seperti SWAP. Tujuan utama bank adalah
menutup posisi likuiditas, agar pada saat jatuh tempo mata uang tersebut
tersedia dengan nilai tukar yang telah diperjanjikan. Namum sekarang ini tujuan
tersebut sudah bercamput dengan tujuan mencari uang (arbitrage) dengan
perhitungan suku bunga tertentu. Jika nilai tukar stabil, dan bunga tidak
dijadikan dasar perhitungan, maka tujuan bank melakukan tukar-menukar uang
mejadi jelas, dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan spekulasi. Mata uang
yang bisa memenuhi kriteria semacam ini hanya mungkin bila terbuat dari sesuatu
yang berharga dan nilainya selalu stabil, atau uang kertas yang didasari oleh
barang tersebut. Dan syarat seperti itu hanya mungkin dipenuhi oleh emas dan
perak. Kemungkinan kerancuan terdapat dalam transaksi luar negeri. Jika mata
uang yang didasarkan kepada emas ditukarkan dengan mata uang fiat (tidak
didasarkan kepada apapun), baik itu transaksi pertukaran biasa maupun akibat
transaksi ekspor/ impor, maka apabila terjadi depresiasi pada mata uang fiat
tersebut negara yang mata uangnya didasarkan pada emas akan mengalami
kerugian. Hal ini disebabkan daya beli uang tersebut menurun terhadap
barang-barang baik domestik maupun impor. Karena itu transaksi antardua mata
uang berbeda akan jarang terjadi.
Jika standar yang digunakan terhadap
emas berubah-ubah maka terjadi perburuan mata uang yang nisbahnya lebih kecil
terhadap emas. Sebagai contoh:
Pada
awal 1999 ditetapkan kurs Rp. 100,- = 1 gram dan di Amerika US$ 1 = 1 gram.
Ketika memasuki tahun 2000 kurs rupiah terhadap emas melemah menjadi Rp. 120,- per 1 gram sedangkan di Amerika
tetap. Orang akan memburu dollar, karena secara standar lebih tinggi dari
rupiah, dengan asumsi rupiah akan semakin melemah terhadap emas.
Dengan demikian spekulasi terhadap
mata uang akan tetap ada meskipun mata uang sudah disandarkan pada emas.
Demikian pula kegiatan investasi yang masuk dari luar negeri akan terganggu,
karena investor khawatir akan melemahnya mata uang domestik terhadap emas. Para
importir akan meminta jaminan untuk membayar pada kurs yang telah ditetapkan,
yang berarti memindahkan beban perubahan nilai tukar pada bank. Untuk itu
diperlukan standar yang tidak berubah, bukan saja pada level nasional, tetapi
juga pada tingkat internasional.
Demikian
pula jika dua standar (bimetallic) yang digunakan, yaitu emas dan perak.
Rasio antara emas dan perak yang berubah akan berpengaruh kepada nilai mata
uang antarnegara. Dengan demikian asumsi-asumsi tertentu tidak bisa diterapkan
begitu saja. Tetapi jika diadakan pembatasan-pembatasan, pemerintah sudah
melakukan intervensi pada kehidupan moneter.
Penutup
Dengan
keterbatasan-keterbatasan yang disebutkan diatas, sistem mata uang yang
berbasis emas dan perak jauh lebih baik ketimbang sistem mata uang yang
mengambang (floating) seperti sekarang. Apalagi jika dikaitkan dengan
upaya intervensi suatu negara kepada negara lain melalui sitem keuangan. Tidak
bisa dipungkiri bahwa sistem keuangan internasional tidak bisa terpisah dengan
sistem politiknya. Dengan demikian negara yang kuat akan terus mendominasi
negara yang lemah melalui sistem mata uangnya. Tidak salah bila orang
melihatnya sebagai penjajahan dalam bentuk baru. Dengan sistem mata uang emas
setiap negara memiliki kekuasaan (sovereignity) atas mata uangnya
sendiri, karena secara asasi siapapun boleh memiliki emas.
Kembalinya
sistem mata uang berdasarkan emas sangat mungkin terjadi bila ada kemauan untuk
kearah itu. Dan itu hanya mungkin bila Islam dipakai sebagai acuan karena
sistem mata uang emas telah diabadikan oleh pemerintah Islam di masa jayanya
dan tidak pernah terjadi krisis keuangan seperti yang ada sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar