Kamis, 12 Januari 2012

Cerpen


TANGISAN ACHA

D
ia begitu sempurna di mataku, gadis yang lembut dengan kesejukan yang terpancar dari wajahnya. Pandangan matanya yang selalu teduh menemteramkan jiwa, dan aku sangat suka memperhatikan ia tersenyum. Memandang embun di pagi hari, mengingatkanku pada dirinya yang menghangatkan jiwaku yang beku. Memandang lembutnya awan putih di siang hari, mengingatkanku pada suaranya yang lembut bersahaja. Melihat pelangi di sore hari, mengingatkanku pada warna indah yang di tuliskannya pada lembaran hidupku. Menatap bintang yang berkelip di malam hari, mengingatkanku pada cahaya yang di berikannya di setiap ruang gelap di hatiku. Memandang hujan yang membasahi bumi, mengingatkanku pada butiran mutiara yang menghiasi pipinya.
            Alya Arshanda Anatasya, sebuah nama yang unik karena pada awal dan akhir kata berakhiran “A”. Teman-teman memanggilnya Alya, sedang aku lebih suka memanggilnya Acha. Menurutku panggilan Acha sangat cocok untuk yang memiliki senyuman yang indah, untuk wajah imutnya yang terlihat polos, sedikit manja dan dewasa menyikapi setiap masalah yang dihadapinya.
            Selama dua tahun ini, aku dan Acha memang dekat, kedekatan kami berawal sejak ia pindah ke sekolahku. Meski ia berada di lingkungan sekolah yang baru, ia tidak menemukan kesulitan untuk beradaptasi dengan teman-teman yang lain. Acha dengan mudah dapat membaur karena ia termasuk orang yang simple dan sangat ramah. Disamping itu, ada hal yang aneh yang aku temukan pada Acha, ia tidak pernah menangis meski ia sedang sedih, ia tidak pernah meneteskan air mata meski ia sangat ingin menangis.
“Cha, kenapa Acha ‘gak bisa nangis?” aku iseng bertanya padanya. “Bukannya Acha ‘gak bisa nangis, tapi Acha gak bisa meneteskan air mata. Terakhir kali Acha nangis dihari Kak Zeva pergi, saat itu Acha berumur 10 tahun. Sampai seminggu sejak pemakamannya Acha masih menangis. Tapi Acha ingat pesan Kak Zeva, bahwa Acha ‘gak boleh menangis lagi dan ia akan bersedih jika Acha meneteskan air mata meski hanya setetes air mata. Sejak saat itu Acha ‘gak pernah nangis meski Acha sedang sedih, Acha ‘gak pernah bisa meneteskan air mata. Mungkin kantong air mata Acha sudah kering saat Acha menangisi kepergian Kak Zeva” ceritanya.
            “Kamoe mlpakan janjimu kpada ku” aku tersentak membaca sms tersebut dan bergegas menuju rumah Acha. “Jovan! Sudah berapa kali Acha bilang., jangan TELAT! Jangan TELAAAT.....!” Acha langsung marah kepadaku saat aku tiba di depan rumahnya. Aku selalu tersenyum melihatnya marah-marah. “Iya, iya...maaf ya. Tadi Jovan latihan band dulu. Lagian Jovan cuma telat 10 menit” kataku. “Telat tetep aja telat, meski Cuma 10 menit!” jawabnya lagi dengan nada lebih marah. Aku memang sudah janji untuk menjemputnya di rumah jam 3 sore, karena ia ingin ke toko buku tapi seperti biasa aku selalu telat dan tidak pernah tepat waktu.
            “Ini sebagai tanda permintaan maaf” aku menyodorkan coklat padanya. Setiap aku punya salah, harus ada coklat sebagai tanda permintaan maaf dan itu peraturan yang dibuat Acha. Ia tersenyum dan mengambil coklat dariku.
            Namun seminggu kemudian semua berubah. Ia terbaring lemah dengan alat-alat medis di sekelilingnya. Wajahnya yang selalu terlihat ceria kini teerlihat hampa, seakan tak ada lagi harapan yang terlukis di wajah cantiknya. Matanya yang selalu berbinar dan bercahaya kini terlihat padam.
            Sudah seminggu Acha terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma karena kecelakaan yang menimpanya saat pulang sekolah, menyebabkan pendarahan di kepalanya. Aku terlalu sibuk latihan band untuk persiapan mengikuti festival, sehingga aku tak ada waktu untuk bertemu dengan Acha dan aku tidak tahu semua yang terjadi pada Acha.
            Kini penyesalan itu datang, aku duduk di samping Acha yang sedang tebaring koma. Aku bawakan ia coklat seperti biasa jika aku melakukan kesalahan. Tiap hari setelah pulang sekolah aku menemui Acha di rumah sakit dan tiap hari aku membawakan coklat untuknya. Hari ini hari ke-6 aku menemani Acha di rumah sakit dan ada 6 coklat yang tersusun rapi diatas meja yang terletak di samping tempat tidurnya. Hampir seminggu Acha tidak sadarkan diri, aku selalu mengajak Acha berbicara, berharap ia membuka matanya dan memakan 6 coklat yang aku berikan sejak 6 hari yang lalu.
            Seperti biasa, pulang sekolah aku menemani Acha di rumah sakit, kini sudah 7 coklat  yang ada diatas meja Acha. Aku sangat berharap ia membuka matanya karena besok sore festival diadakan. Acha ingin sekali menyaksikan penampilanku saat membawakan lagu ciptaannya karena Acha sengaja menciptakan 2 buah lagu untuk penampilanku dalam festival kali ini.
            Selama tiga tahun ini aku dan teman-teman dekatku berhasil mendirikan band yang kami beri nama Dixsnow Band. Band itu terbentuk sejak kelas 1 dan saat pertama kali Acha pindah ke sekolahku, aku memperkenalkannyapada teman-temanku. Bahkan Acha sering lihat kami latihan.
            “Cha, Acha harus buka mata sekarang soalnya festival band diadakan besok sore. Acha bilang, nAcha ingin melihat Jovan nyanyiin lagu ciptaan Acha, makanya bangun dong Cha...!”  aku berkata padanya sambil menatap wajahnya. Tiba-tiba Acha membuka matanya dengan perlahan. Aku kaget dan tidak percaya dengan apa yang kulihat, lalu aku memanggil dokter dan membangunkan orang tua Acha yang sedang tidur karena menjaga Acha semalaman. “Jovan...” ia berkata pelan dan aku memandangnya sambil tersenyum. “Jangan banyak bicara dulu, istirahatlah ”. Aku menggenggam tangannya. Keesokan harinya Acha dan orang tuanya berangkat ke Singapura untuk menjalani operasi, sebelum berangkat aku menemuinya di rumah sakit. “Nanti Jovan harus nyanyiin lagu ciptaan Acha dengan baik, Acha mau Dixsnow menjadi band yang terbaik di festival itu.” Acha berkata kepadaku. “Dixsnow pasti jadi yang terbaik, karena itu Acha harus sembuh dan cepat kembali ke sini. Kalau nanti Acha sembuh, Jovan akan ngadain konser tunggal khusus buat Acha.” Kataku. Tiba-tiba ia terisak dan kulihat butiran-butiran bening membasahi pipinya. Acha menangis, ia menangis dengan terisak. “Acha, Acha menangis? Kenapa?” aku keheranan. Aneh juga rasanya melihat Acha yang selama ini tidak pernah menangis, saat ini meneteskan air mata dihadapanku. “Acha ingin lihat penampilan Dixsnow. Acha sedih karena Avha ‘gak bisa lihat Jovan nyanyiin lagu ciptaan Acha”. Air mata semakin deras mengalir di pipinya. “Makanya Acha harus sembuh, meski kali ini Acha tidak bisa lihat penampilan Jovan, tapi nanti setelah Acha kembali Jovan akan nyanyiin buat Acha. Sekarang Acha jangan sedih lagi ya!”. aku mencoba menghiburnya.
            Sorenya, saat festival sedang berlangsung , tibalah saatnya untuk penampilan Dixsnow Band. “Lagu ini kami persembahkan untuk seseorang yang saat ini sedang kami nantikan, lagu ini buat Alya Arshanda Anatasya”
Kau pergi....
Aku disini menantimu kembali
Berharap waktu berputar dengan cepat
Agar aku melihat senyummu lagi
Kau pergi....
Aku disini menantimu kembali
Entah kenapa kegundahan menyapa hatiku
Kau pergi....
Aku disini menantimu kembali
Aku disini menantimu kembali
Karena aku tahu bahwa kau pasti kembali

            Aku membawakan lagu itu dengan baik dan Dixsnow Band nerhasil menjadi band yang terbaik dalam festival itu. Aku tidak tahunbahwa air mata yang diteteskan oleh Acha adalah air mata perpisahan. Aku terus menanti Acha meski aku tahu bahwa Acha telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi. Malaikat putih telah menjemputnya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar